Rabu, 22 Mei 2013

Warisan

 

 



Oleh Iswan Sual
 
 
Ari dan Soni datang ke rumah dalam keadaan  setengah sadar. Badan mereka kini berbau alkohol. Walau malam sudah sangat larut ibu dan ayah bangun dan membukakan pintu untuk mereka. Mereka berbicara dengan kata-kata yang samar dan terkesan ngawur. Namun, intinya adalah meminta (mendesak) agar mereka dibolehkan untuk ikutserta memetik buah cengkeh di kebun milik ayah. Penolakan atau larangan tak muncul dalam pikiran. Apalagi keluar lewat ujaran. Ayah menyarankan agar kedua kakak tiri saya itu segera tidur berhubung keadaan mereka sudah tidak memungkinkan terjadi pembicaraan yang terarah dan sehat. Mendadak mereka marah pada ayah dan melemparkan kata-kata tak pantas dan keliru. Memang bukan baru tahun ini saja mereka datang dalam keadaan teler sambil mengancam supaya ayah memberikan hak mereka sesuai dengan perjanjian ketika ayah bercerai dengan ibu mereka. Waktu itu mereka masih berumur lima dan tujuh tahun. Sedih aku membayangkan nasib mereka menjadi bingung dan terlantar.
“Ayah, diijinkan atau tidak besok kami akan memetik.”
“Iya…siapa bilang tidak boleh. Jangan dulu besok. Buah belum bisa dipanen. Tunggulah barang seminggu lagi,” dengan lembut ayah bertutur.
“Ayah sangat tidak adil! Ayah tidak mau mengerti keadaan kami. Hidup kami sudah siksa di Manado. Kami butuh uang untuk menyekolahkan anak-anak kami,” Ari meracau dengan tangisan menggema ke sekitar. Terdengar suara ribut anjing menyalak. Mereka mengira telah pecah perang dunia ketiga.
“Iya ayah memang tidak adil. Wailan terus yang diperhatikan dan disayang. Kenapa sih ayah tetap membeli dia sepeda motor. Kenapa ayah tak membiarkan dia sendiri yang mencari uang untuk keperluannya. Diakan sarjana. Dia…ini memang tak tahu diuntung. Bukannya cari kerja, malah nganggur di kampung dan tiap hari makan tidur saja,” Soni yang tidak terlalu terpengaruh dengan minuman keras terdengar lantang bersuara menyampaikan unek-uneknya. Aku di kamar terpukul. Satu per satu air mata menitik membasahi bantal di mana kepalaku bersandar. Bisa saja aku keluar dan membela diriku atas apa yang barusan Soni katakan. Tapi itu tak akan menyelesaikan masalah, pikirku. Justru, bisa timbul perang saudara di tengah malam buta. Aku hanya bisa bergumam. Menjelaskan pada diriku sendiri bahwa semua yang disangkakan tidaklah benar. Aku sama sekali tidak pernah memaksa ayah membeli sepeda motor untuk kepentinganku pribadi. Juga, aku tidak makan dan tidur, nganggur dan mencukur harta orang tua pelan-pelan setiap hari. Kepulanganku di kampung atas dasar ingin dekat dengan orang tua dan ingin mengabdi dalam dunia pendidikan bahkan gereja. Aku mengajar di dua sekolah. Aku juga aktif melayani di komisi pemuda.
***
Malu karena semalam keluarga kami menciptakan keributan, ayah dan ibu mengajak aku ke kebun. Kebetulan hari libur. Hari raya Idul Adha. Hari yang memperingati pembuktian Abraham akan imannya kepada Tuhan dengan cara hendak mengorbankan Ismail (bagi umat Kristen dan Yahudi: Ishak. Bukan Ismael) di bukit Moria. Matahari belum nampak ketika kami bergegas menuju lahan perkebunan yang dinamakan Mesel. Kami tiba di kebun menjelang pukul sembilan. Kami tidak langsung bekerja. Biasanya dimulai dengan membuat api di gubuk untuk memasak air dan sayur. Kadang-kadang juga ubi atau pisang.
“Ayah, saya menyimak percakapan ayah dengan kakak tadi malam. Sudah bertahun-tahun itu terjadi berulang kali. Kalian beradu mulut soal sebidang tanah yang mereka akui sebagai mahar untuk ibu mereka. Itulah yang membuat mereka getol…,”
“Cukup! Kamu rupa-rupanya ikut membela…. Asal kamu tahu ya….orang tua saya tidak pernah memberikan tanah itu sebagai mahar kepada ibu mereka. Itu hanya cerita angin yang terus didengungkan oleh kakek mereka!” suara ayah meninggi.
Belum tersampaikan maksud tapi keberanianku telah dicabut. Aku mengalihkan pembicaraan ke hal-hal lain yang tak berguna tapi penting. Ranting yang kupatahkan kugores-goreskan di tanah untuk menuliskan sesuatu yang belum kutahu. Ya, itu hanya sebuah wujud pengalihan emosi. Seperti seorang anak yang menggaruk-garuk kepala bila ditanya guru kenapa tidak membuat PR.
Ibu hingga kini tak mencampuri  perbincangan dua lelaki beda di umur di hadapannya. Bukan tak peduli. Bukan cuek. Dia hanya hati-hati. Karena situasi mulai memanas. Takut terjadi kekeliruan dan kesalahpahaman.
“Begini ya, bukan maksudku menyalahkan ayah atau membela kakak. Tapi, aku juga punya hati. Aku mencoba menempatkan diriku sebagai mereka yang pernah terlantar semasa kecil dan hidup susah di kota Manado yang sudah semakin materialistis. Dan yang akan aku katakan bukan mendesak ayah agar mengijinkan atau tidak mengijinkan. Yang akan kukatakan lain tapi berkaitan. Saya mengusulkan agar ayah membicarakan bersama dengan semua anak soal warisan. Sebaiknya warisan itu segera ditetapkan ini untuk siapa dan itu untuk siapa,” kataku dengan pilihan kata yang terlalu hati-hati agar dimengerti.
“Saya punya hak untuk memberi atau tidak memberi. Lagipula, kenapa bicara soal warisan. Saya belum mati. Saya berhak menikmati yang saya tanam sendiri…. Selagi saya hidup saya yang menguasai. Kalian, anak-anak tidak perlu masuk campur!”
Semua usahaku untuk meyakinkan dengan pilihan kata yang sesuai dengan teori komunikasi tidak mempan di telinga ayah. Tanggapan yang aku harapkan bukan itu yang datang. Malah, bertolak belakang.
“Maksud saya begini yah, saya bukanya menuntut supaya harta warisan yang merupakan bagian kami diserahkan sekarang. Bukan. Bukan itu maksud saya. Yang saya maksud, kepada kami, secara bersama, ayah sudah harus menyampaikan bagian kami masing-masing. Supaya suatu saat nanti, bila ayah sudah tiada, kami tak perlu lagi berebut. Sebaliknya, kamu sudah tahu mana punya kami dan mana punya saudara kami. Yang saya maksud baik, yah.”
Ibu turut menambahkan argumentasi mendukung ikhtiar saya. Namun, ayah merasa dia ditekan dari berbagai arah dan terdesak. Terpojok. Naluri hewaninya muncul. Naluri untuk membela diri. Defensif.
Memang susah bicara dengan ayah. Kepintaran dan kebijaksanaan orang lain banyak ditanggapinya sebagai sesuatu yang mengacam kredibilitasnya sebagai seorang ayah.
“Saya hanya tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada kami. Pada ibu. Mereka anak-anak dari istri pertama. Dan aku adalah anak dari istri kedua. Apa ayah tidak mendengar kata-kata mereka semalam? Ada maksud mereka hendak memperlakukan kami dengan buruk suatu saat. Jadi, sebagai jaga-jaga marilah dari sekarang dibiasakan segala  sesuatu yang meyangkut banyak orang itu dibicarakan bersama.”
“Kamu tak usah risau dengan itu. Kalau aku sudah tiada, anak tertualah yang akan menggantikan aku. Jadi, nanti Soni yang akan mengatur semuanya.”
Kupejamkan mata selama dua puluh detik. Menahan linangan air yang siap membanjiri pipi. Aku mengutuki diriku sendiri yang tak berhasil membuat keadaan menjadi lebih baik. Justru kebalikan. Bagiku pemikirannya sangat tak bijak. Dia seperti meninggalkan peda, pedang di antara kami anak-anak. Buka aku berprasangka buruk kepada kakak-kakakku. Hanya saja, kejadian tadi malam seharusnya menjadi pelajaran bagi ayah bahwa usulanku benar. Tapi mengapa susah sekali ayah mengerti maksudku. Dia malah berpikir bahwa aku sedang menuntut warisan darinya. Soe skali kita ini. Sial benar nasibku. Mungkin aku harus banyak belajar lagi bagaimana berkomunikasi dengan baik agar atau dapat meyakinkan ayah suatu saat nanti. Atau, diam saja itu sudah cukup? Ah entahlah. Yang pasti aku sakit hati sekarang ini.
Setelah hampir lima menit terjadi keheningan di gubuk, aku berdiri dan melangkah kedepan. Tanpa menoleh kebelakang sedikit pun. Di kejauhan terdengar diskusi antara ibu dan ayah dimulai lagi. Tapi aku sudah tak perduli. Dari kejauhan terlihat bentangan laut luas. Langit di atas kepala sedikit cemberut. Senyum birunya tak ditunjukkannya. Kalau air mataku ini mengalir terus hingga sehari saja, mungkin bisa mencapai laut di depan pandangan mata yang telah menjadi sumber air yang deras.
29 Juli 2012

IKANG ROA


Oleh Iswan Sual


Nyaris semalam suntuk aku dan teman-temanku menentang malam bergulat  dengan tugas yang tak terbilang dan harus diselesaikan itu. Hotel Nasional Tahuna nan sederhana menjadi saksi kami berenam tahang mata hingga fajar menyingsing. Jolly yang paling tahan. Matanya begitu kebal dengan sinar layar komputer yang terkadang bikin pusing. Dan dia adalah tumpuan harapan kami. Mau saja dia mengerjakan tanggungjawab kami meski tak sepeserpun upah diterimannya dari kantong kami. Luar biasa kesetiakawanannya. Padahal, sama-sama kami digaji sebesar 4 jutaan rupiah. Jolly itu Superman. Atau mungkin Incredible Man. Sedangkan kami Sick Man. Atau mungkin Lazy Man. Atau barangkali, Impotent man. Ah! Pokoknya kami itu payah! Dalam bahasa Minahasa tua: la ak!
Satu per satu kami tumbang di atas dua ranjang. Tentu saja double bed  tak cukup memikul setengah lusin orang dengan berat di atas rata-rata orang di negara kami yang sering dianugerahi gelar-gelar negatif oleh organisasi dunia. Sarang terorislah, terkorup, termiskin dan terbodoh. Walaupun ada benarnya, tapi bukan berarti mereka bisa seenaknya memberi gelar-gelar itu pada kami. Sialan orang-orang bule itu. Seolah mereka tak pernah mengalami masa kelam. Lupa mereka pada sejarah. Sok suci. Seakan tak pernah berbuat dosa. Atau, lupakah mereka bahwa kekayaan yang mereka nikmati sekarang adalah hasil curian kakek-kakek mereka ratusan tahun lalu. Mereka datang dengan bedil dan meriam lalu menjarah tanah kami yang tentram dan kaya.
***
Mata masih berat untuk dibuka. Namun, demi memberi ruang kepada teman-teman lain aku terpaksa bangkit dari ranjang bersamaan dengan mentari menjalar di sela-sela jendela kaca yang ditutupi tirai berwarna putih dengan motif berlubang-lubang. Seketika itu pula aku merogoh kocek dimana ponsel bermerk Samsung-ku bersarang. Kubuka inbox. Namun tak ada pesan singkat ataupun panggilan tak terjawab. Syukurlah. Berarti aku dapat leluasa menikmati pagi di dekat sendang kecil sambil mengamati ikan-ikan multi warna yang melompat-lompat menyaingi semburan air mancur yang tak terlalu tinggi. Gemericik air menggelar teduh dalam jiwa. Belum lagi, bila hujan rintik mengiring. Tentu suasana akan kian sempurna. Tapi, aku tak mau memerintah Tuhan mengabulkan doa yang egois itu.
Jalanan mulai ramai. Sepeda motor dan gerobak yang didorong manusia tampak menjadi mayoritas. Semua menuju ke pusat kota. Bunyi terompet yang dihasilkan dengan cara meremas benda luwes mirip buah zakar menarik perhatianku. Dan itu pemandangan yang memberi pelajaran yang berharga tentang bagaimana orang-orang yang bekerja keras mencari sesuap nasi. Kerja dari subuh hingga malam datang berkunjung. Pejabat dan orang-orang terhormat di kantor pemerintahan adalah kebalikannya. Datang terlambat pulang lebih cepat. Hasil kerja nihil. Sia-sialah kami membayar pajak. Apalagi, dari orang-orang yang bangun subuh dan pulang malam demi mengais sedikit rezeki di pasar itu. Cobaan hidup bertambah berat kalah pemerintah daerah selalu mengeluarkan kebijakan relokasi dan yang tak lain adalah sinonim dari alienasi. Alias penyingkiran dari tengah-tengah orang berada.
Getir mulai menguasai hatiku. Sehingga demi mencegah titik-titik air mata membasahi lantai hotel yang belum dipel aku putuskan melangkah masuk kamar lagi. Tanpa tujuan yang jelas.
“Alo, pigi smokol jo ngana. Kong ambe kwa akang torang. Biar cuma pisang,” kata susan kala pintu kamar bernomor 101 itu mengangkang. Dahiku mengernyit. Enggan mengabulkan permintaan mereka. Namun, raut wajah Susan dan lainnya tampak mendesak. Kututup pintu lagi lalu menuju ke ruangan di mana sarapan digelar. Langkah-langkah kubuat pasti sehingga terlihat seperti  aksi orang-orang berduit. Sudah ada Supervisorku di situ. Mimik wajahnya berganti ketika aku muncul dihadapannya.
“Napa dorang Santi suru kita mo ambe akang for dorang. Mar ta malu ini. Napa tu Ko’ so haga-haga miring pa kita,” uraiku sembari menarik kursi dan menaruh sepasang sikut di atas meja bundar berbalut kain putih agak tua. Bunga hidup diletakkan di tengah-tengahnya. Konsep hotel yang terbilang ramah lingkungan. Tapi seperti hotel lain yang dipenuhi dengan bunga palsu laiknya politisi di negeri kita.
Supervisorku yang bernama Modi itu menawarkan agar segera aku menikmati hidangan. Seiring itu makannya dipercepat. Ini membuatku sedikit galau dan kaku. Kuambil piring dengan nasi dan abon ikan laut seadanya. Mulai makan dengan gaya yang sengaja dibuat pongah. Resepsionis yang aku belakangi terdengar gaduh berbasa-basi dengan seorang tamu hotel. Sesekali seorang perempuan di hadapanku mencuri-curi pandang padaku. Barangkali, dia tertarik dengan gaya rambutku yang aneh. Kepala sudah musim gugur tapi rambut dililit segala. Lebih mirip buruh bagasi daripada orang-orang di negeri sakura. Kesan yang hendak dicipta ditafsirkan secara berbeda. Alangkah kampungannya aku. Tapi, apa peduliku!
“Lebe dulu ne. kalu ngana malu lebe bae suda jo ba ambe,” ungkap Modi saat mau pergi. Dia menghilang di ujung lorong dengan kunyahan makanan dari sendok terakhir yang belum ditelan. Sang pemilik hotel tengah asyik membaca koran. Tapi, aku tahu dia sembunyi-sembuyi memperhatikan. Aku bertingkah wajar. Pongah bak Julius Cesar yang bergaya di depan senator-senatornya. Ketika sepiring nasi habis, kuberanikan diri lagi menuju meja di mana makanan dan minum terhampar. Kupilih secangkir teh saja. Begitu ku duduk, dua orang berkulit terang dan bermata sipit muncul. Mereka bicara dengan bahasa yang sukar untuk kekenali. Baru lima menit kemudian berani kusimpulkan bahwa mereka dari Cina. Kedua lelaki itu terus bertukar kata dan kalimat. Aku dengan serius menyimak. Tak satupun kata ku mengerti.
Teh pun habis dan kulangkahkan kaki kembali ke kamar. Dengan lembut kututup pintunya. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pada pintu. Semua dalam kamar saling berpandangan. Keenam-enamnya ada. Lalu siapa yang mengetuk? Dengan bisik-bisik dibantu gerak pantomim Modi menyuruh Bea dan Jein masuk ke kamar mandi untuk bersembunyi. Sedangkan aku langsung mengumpet di belakang daun pintu.
“Selamat pagi pak! Ada  berapa orang yang nginap, pak?” kata suara seorang wanita.
“Oh…kami hanya bertiga.”
Aku menahan gelak begitu pandanganku tertuju ke Susan dan Jolly. Aku baru tahu pasti ternyata Modi hanya menyewah kamar untuk satu orang. Begitu dia melaporkan bahwa kami ada bertiga padahal ada berenam, dia dipanggil ke resepsionis. Lima menit kemudian dia muncul dan memberitahukan bahwa kami mesti menghimpun rupiah. Setelah dihitung-hitung bayarannya setimpal dengan untuk bayaran tiga kamar double bed. Sialan! Kalau tahu begini jadinya, mendingan kami memesan tiga kamar dan tak perlu tidur berdempetan seperti ikang roa yang dijepit rapat. Lalu dipanggang. Dan kami adalah ikang roa hidup khas Tahuna.
Tahuna, Kamis 8 November 2012. Selesai 11.09.

MENTAL PAMONG PRAJA INDONESIA MASA KINI


Oleh Iswan Sual, S.S
 
 
 
Matahari belum terlalu tegak berdirinya. Namun, kami sudah seperti cacing yang berteriak-teriak minta tolong. Panas! Aku sendiri heran kenapa sang kepala sekolah mendapat ide gila memuat puluhan siswa di atas sebuah truk. Kami diperlakukan seperti sapi yang beberapa waktu lagi akan dijagal. Padahal, dana BOS tidak perlu dihemat dengan cara tidak manusiawi seperti  ini. Sialnya, gara-gara aku hanyalah seorang honor yang masih bujangan, aku dianggap layak untuk dibuat teraniaya. Sementara para guru lain dengan modal seragam PNSnya bertindak seolah bos-bos yang harus dihormati. Sialan! Bagusnya hanya pada seragam. Di dalam kelas seperti keledai saja. Tak mengajar sama sekali.
“Sir, kenapa cuma sir yang nda gabung ta panas-panas deng torang di sini? Nda adil dorang kang sir?” ketus salah seorang siswi. Aku hanya senyum kecil.
Sangatlah tidak pantas bila aku harus menceritakan perasaanku yang sebenarnya pada seorang gadis yang belum cukup pengertiannya. Lagipula aku tak mau menjelek-jelekkan guru-guru lain itu di depan para siswa. Walaupun sebenarya ketidaktahuan mereka mengajar begitu dikenal oleh para murid. Memang, terkadang guru tidak menyadari bahwa sebenarya siswa lebih banyak tahu dari yang kita sebagai guru kira.
Sesampai di ibu kota kecamatan, para guru-guru PNS  dengan pongah memerintah saya supaya mengarahkan para murid ke lapangan dimana upacara bendera akan dilangsungkan. Aku minta mereka agar sabar dengan murid karena mereka sedang capek karena kegerahan. Guru-guru itu terus mendesak gara-gara upacara sudah sementara berlangsung. Ternyata kami datang terlambat. Dengan langkah diam-diam kami masuk ke barisan. Terpaksa siswa-siswa rombongan kami harus menyambung di barisan sekolah lain sebab tempat yang disediakan sudah disabotase sekolah lain. Tentu, akan sangat kentara juga bila kami harus mencari tempat di depan. Akan lebih mempermalukan lagi sekolah kami. Satu persatu aku meminta siswa agar masuk dan menutupi barisan. Susah memang mengaturnya. Dalam situasi begini, seringkali siswa-siswi suka bergelagat. Mereka tahu sanksi tak mungkin diberlakukan. Aku menggunakan cara yang paling lembut untuk menenangkan mereka. Sudah itu akup pun mencari tempat di mana aku bisa berbaris. Yang kupilih adalah di belakang para siswa yang aku antar. Kebetulan berdekatan dengan barisan guru.
Anehnya, kini yang paling gaduh justru barisan para guru. Mereka saling bergantian berseloroh. Paling banter adalah kepala sekolahku sendiri. Leluconnya yang berbau porno menyihir para guru muda lain untuk larut dalam cerita-cerita itu. Barisan merekapun seperti ular. Semua memegang koran sebagai penutup wajah dan kepala. Sedangkan siswa mereka pelototi bila tidak berbaris dengan benar. “Ironis!”
“Istirahat di tempat grak!” teriak si pemimpin upacara.
“Ah lega,” ketus para siswa berbarengan.
Dalam situasi begini mana ada yang mau mendengar wejangan inspektur upacara. Dia seenaknya bicara pacang. Dia memang enak. Ada di panggung kehormatan. Terik matahari tak akan bisa menyengat mereka. Mereka juga bisa duduk. Mereka mengajarkan tentang perjuangan, mereka sendiri tak memberikan panutan. Mereka berperilaku persis seperti orang belanda yang suka perintah-perintah, sedangkan kami, distraf seperti tahanan. Dijemur di bawah panas yang tak punya belas kasih.
Aku masih saja berdiri tegak dengan kaki sedikit mengangkang. Kedua tanganku menyilang di belakang. Seperti diborgol. Aku membayangkan diriku persis seperti Walter Monginsidi yang siap dieksekusi oleh regu tembak. Peluh mengalir deras dari kepala. Punggungku sudah basah. Benar-benar basah. Barisan guru-guru semakin beringas. Tawa semakin melengking. Tiba-tiba seorang siswa perempuan terombang-ambing di atas tanah.
“Sir! Sir! Fista pusing, sir!”
Dengan cepat aku berlari menahan tubuh mungilnya sebelum memukul tanah. Siswa-siswa dari sekolah lain dengan sontak pun berkerumun.
“Sudah. Jangan dekat-dekat. Nanti dia tambah kepanasan. Kembali ke barisan!” kataku kepada mereke. Tampak siswa mulai berhamburan sambil mencari-cari air. Di barisan lain juga siswa terlihat satu per satu tumbang. Inspektur upacara masih saja terus bicara. Dia masih menbacakan sambutan tertulis bupati. Belum ada tanda-tanda mau berhenti. Itu baru sambutan tertulis bupati. Belum lagi sambutan lisan dari inspektur itu sendiri. Aku heran dengan pejabat di negara ini. Mereka suka sekali berkata-kata di depan banyak orang. Padahal kinerja mereka nol besar.
Setelah membaringkan siswi yang pingsan itu. Kulepaskan sepatunya. Dan kuminta siswa perempuan akar melonggarkan pakaian sehingga dia bisa bernafas bebas. Seketika itu juga kulihat semua siswa-siswi dari sekolah kami sudah tak ada lagi yang ikut dalam barisan. Semuanya telah berjalan mencari air. Mereka sudah tak tahan. Akupun setuju saja. Barisan guru-guru juga sudah bergeser ke bawa pohon untuk menghindari sengatan matahari.
***
Setelah upacara selesai aku bertemu dengan seorang guru dari ibu kota kecamatan. Dia lebih dulu yang menegur. Dari mobil jimmy dengan sok dia memamerkan kendaraannya. Aku dengan spontan berkata, “Eh so ta bae nga e!”
Dia dengan pongah menjawab, “Batabung no.”
Sungguh pongah. Mana bisa dengan gaji seorang PNS yang baru genap setahun sudah bisa memberi mobil seperti itu? Emang, gajinya berapa?
Aku jadi teringat masa lalu kami. Kami dulu sama-sama pernah terlibat dalam organisasi kemahasiswaan di tingkat fakultas. Sewaktu saya menjadi ketua Badan Eksekutif Mahasiswa, dia adalah ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa. Saya di eksekutif. Dia di legislatif.
Dia pernah memohon-mohon padaku agar mendukungnya menjadi ketua. Saya berusaha membantu. Dan akhirnya dia menjadi ketua  MPM.
Suatu waktu saya mendapat tugas keluar daerah mewakili kampus. Selama saya pergi dia ternyata membuat kesepakatan diam-diam dengan pimpinan fakultas mengenai pemotongan beasiswa. Lima juta kantonginya. Itu adalah dana untuk organisasi. Tapi, dengan tamak dipakainya untuk pribadinya. Karena diuber-uber oleh anggota MPM lainya dia kembali meminta tolong kepada saya. Dengan tegas saya bilang saya tak bisa membantu dia. Karena jika demikian, sama saja turut menjadi koruptor seperti dia.
Jadi, mustahilah kalau dia sudah kaya sekarang kalau belum sampai setahun dia menjadi PNS. Menabung?

IRONI KEHIDUPAN





Iswan Sual



Pikiran yang suntuk lantaran jadi sasaran marah-marah atasan membuatku mengubah kebiasanku bepergian saat keluar dari ruang rapat untuk makan siang. Jarak dua ratus meter yang selalu saya tempuh dengan menumpang mikro hari ini kulalui dengan jalan kaki saja. Mungkin terinspirasi oleh gagasan yang pernah kubaca dalam sebuah artikel yang menyebutkan kalau jalan kaki bisa mengusir penat dan menyegarkan otak. Percobaan yang kulakukan hari ini tidaklah mengecewakan. Rasa capek taklah muncul meski tas punggung agak membeban di punggung. Tambah lagi, setumpuk berkas di dalam kantong plastik terjinjing di tangan. Urat-urat muncul bagai akar-akar timbul pohon besar.
Panggilan teman sekerjaku pura-pura tak aku dengar walau langkah baru beberapa keluar dari kantor, rumah tua besar yang dialihhfungsikan, yang berdiri tepat di antara dua jalan. Persis seperti sesuatu benda di antara kayu bercabang ketapel. Titik-titik keringat berhamburan menuruni leher dan punggung. Kemeja kotak-kotak berwarna biru putih basah dibuatnya. Tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti di sisi kananku. Pria yang mengendarakan kendaraan membuka helmnya dan menyapaku dengan ramah. Pria yang tak kutahu namanya. Tapi wajahnya kukenal karena sering datang bersama seorang gadis yang kebetulan menjadi teman sekerjaku selama tiga bulan ini.
“Bro, ada bawa?”katanya sembari turun dari sepeda motor yang bunyi mesinnya sudah kedengaran agak ribut. Barangkali kendaraan itu jarang diganti olinya atau mungkin sudah ada suku candangnya yang harus diganti.
Pertanyaan pria dengan jaket hitam itu awalnya membuat otakku penuh dengan tanda tanya. Baru aku sadar ketika dia membuat gambar di udara. Gambar yang menyerupai kotak. Dari situ aku tahu bahwa yang dia maksudkan adalah berkas titipan yang dikirim kerabat kerjaku dari Marore. Setelah itu dia pergi sambil memberi senyum keramahan basabasi.
Kuteruskan perjalanku ke pusat kota Tahuna. Tinggal lima puluh meter namun kaki mulai kalah kuat. Ironis, orang Jepang senang jalan kaki.Bahkan cepat sekali seperti orang yang terburu-buru. Padahal mereka adalah negara dengan kecanggihan teknologi tertinggi di dunia.Di negara kita orang mulai dinina bobokan dengan teknologi. Sehingga tak mengherankan mereka rela menunggu bis hingga sejam untuk pergi ke tempat yang hanya berjarak kurang dari seratus meter.
Aku tiba di sebuah gedung besar yang disekat-sekat untuk jadi tempat kumpulan kios makan. Langkahku langsung menuntun ke sebuah kios yang menjual makanan seharga Rp. 10.000. Perpaduan kelezatan makanan dan keramahan adalah pemantik yang mujarab sehingga aku sering ke tempat itu. Minggu-minggu sebelumnya aku biasa makan di sebuah kios makan yang pemiliknya kurang ramah. Seporsi harga bisa hingga Rp. 13.000. Suatu waktu karena kehabisan makanan di tempat itu aku mencari kios  yang lain. Akhirnyahingga hari ini aku tak mau lagi kembali berlangganan dengan kios sebelumnya sering aku datangi itu. Kecuali kalau memang aku lagi ingin sekali makan coto atau sekedar duduk melihat-lihat hiasan dinding yang nampak ingin memberi kesan tingkat kealiman pemiliknya. Kesan yang saya peroleh justru adalah sebaliknya. Penilaianku terhadap pemilik itu tak berdasarkan ornamen-ornamen agama yang terpampang di dinding. Melainkan pada tindak tanduk mereka saat melayani pelanggan dan memperlakukan pekerjanya.
“Mo makan opo[1]?” tanya seorang ibu sewaktu aku kedapatan menempel di kaca lemari dimana makanannya digelar.
Dengan cekatan dia menyiapkan makananku setelah tanganku menunjuk lauk dan sayur yang ingin saya lahap. Dan tak sampai lima menit sepiring makanan itu telah terkubur dalam perutku. Perutku pun membuncit. Sisa-sisa makanan di sela-sela gigi kubereskan dengan tusuk gigi yang sudah disiapkan di atas meja. Secara berguyon temanku menyebutnya sebagai makanan penutup. Habis itu, koran yang sempat kubeli di emperan pertokohan ku keluarkan pula. Berita yang dimuat hanya seputar beberapa politisi pindah partai karena tak lagi diberi jatah kursi. Padahal, masih ingin berkuasa membodohi rakyat-rakyat tak berdosa. Kerjanya lebih banyak plesiran daripada turun langsung ke lapangan untuk menyerap aspirasi dan menyalurkannya.
Begitu koran agak terturun ke bawah wajah kulihat seorang pria berkulit lebam dan rambut kusut menerima sepiring nasi dari pemilik kios. Orang itu sering kulihat tidur di lantai trotoar. Kadang juga terlihat berjalan kaki di pelabuhan. Orang gila itu minta nasinya ditambah. Ibu sang pemilik warungpun tak menampik. Pelanggan yang lain terperangah bercampur jijik. Atau bisa saja irih karena lelaki gila bertelanjang dada itu mendapat makan gratis. Sedangkan mereka harus merogoh kocek. Ironis, orang berada masih saja tak rela orang yang kurang beruntung sedikit menikmati hidup. Mengapa ya? Saya jadi teringat dengan orang-orang kaya di kampong. Begitu mendengar ada bantuan pemerintah, mereka berjubel ria mendaftarkan diri sebagai orang miskin. Sungguh ironis!
Tondano, 8 Februari 2013


[1] Opo adalah sebutan orang Sangihe kepada kaum lelaki. Opo adalah sapaan/panggilan kepada anak-anak yang disayang. Tapi kini, panggilan ini telah menyeluruh ke semua lelaki. Di Minahasa sapaan Opo diperuntukkan untuk Tuhan atau orang tua. Dan tidak terbatas hanya pada lelaki.